ETIKA KEILMUWAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya, sedangkan  moral pada dasarnya adalah petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia. Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan alternatif untuk membuat keputusan politik  dengan berkiblat kepada pertimbangan moral. Ilmuwan mempunyai tanggung jawab professional, khususnya di dunia ilmu dan dalam  masyarakat ilmuwan itu sendiri dan mengenai metodologi yang dipakainya. Ilmuwan juga memikul tanggung jawab sosial, yang bisa dibedakan atas tanggung jawab legal yang formal sifatnya, dan tanggung jawab moral yang lebih luas cakupannya.
Ilmu dan moral termasuk ke dalam genus pengetahuan yang mempunyai karakteristik masing-masing. Tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas atau ruang lingkup yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek penelaah tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.
Agar mendapat pengertian yang jelas mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka kajiannya harus didekati dari ketiga komponen tiang penyangga tubuh pengetahuan yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Namun sebelum sampai pendekatan dari ketiga hal tersebut dibahas dulu tentang pengertian etika, moral, norma dan kesusilaan. Bahasan ditutup dengan bagaimana sikap ilmiah yang harus dimiliki seorang ilmuwan.
B.   Rumusan masalah
1.      Apa pengertian etika, moral, norma dan arti kesusilaan ?
2.      Bagaimana problema etika ilmu pengetahuan ?
3.      Bagaimana ilmu dalam pendekatan ontologis, epistemologi, dan aksiologi?
4.      Bagaimana sikap ilmiah yang harus dimiliki ilmuwan ?

C.   Tujuan penulisan
Membantu pembaca mengetahui dan memahami :
Ø  Pengertian etika, moral, norma dan arti kesusilaan
Ø  Problema etika ilmu pengetahuan
Ø  Ilmu dalam pendekatan ontologis, epistemologi, dan aksiologi
Ø  Sikap ilmiah yang harus dimiliki ilmuwan.

D.  Manfaat penulisan
Dengan membaca makalah ini pembaca dapat mengetahui :
Ø  Pengertian etika , moral, norma dan arti kesusilaan
Ø   Problema etika ilmu pengetahuan
Ø  Ilmu dalam pendekatan ontologis, epistemologi, dan aksiologi
Ø  Sikap ilmiah yang harus dimiliki ilmuwan.

  
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Etika, moral, norma dan kesusilaan
Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya. Adapun motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang dikerjakan dengan kesadaran sajalah yang dapat dinila, sedangkan yang dikerjakan dengan tidak sadar tidak dapat dinilai baik buruk.
Menurut sunoto (1982) etika dapat dibagi menjadi :
a.       Etika deskriptif
 Hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika
b.      Etika normatif
Sudah memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak. Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus.
Moral berasal dari kata latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
Frans Magnis Suseno (1987) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wewenang, khotbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para bijak. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.
Norma adalah alat tukang kayu atau tukang batu yang berupa segitiga. Kemudian norma berarti sebuah ukuran. Pada perkembangannya norma diartikan garis pengarah atau suatu peraturan. Misalnya dalam suatu masyarakat pasti berlaku norma umum, yaitu norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral.
Arti kesusilaan
Leibniz seorang filsuf pada zaman modern berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu “menjadi” yang terjadi di dalam jiwa. Perkembangan dari nafsu alamiah yang gelap sampai kepada kehendak yang sadar, yang berarti sampai kepada kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh lengkap, disebabkan oleh aktivitas jiwa sendiri. Segala perbuatan kehendak kita sejak semula telah ada. Apa yang benar-benar kita kehendaki telah terkandung sebagai benih di dalam nafsu alamiah yang gelap.
Oleh karena itu, tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan perkembangan itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin kita.
Akibat pandangan itu orang hanya dapat berbicara tentang kehendak yang baik dan yang jahat. Kehendak baik ialah jika perbuatan kehendak mewujudkan suatu bagian dari perkembangan yang sesuai dengan gagasan yang jelas dan actual. Kehendak jahat ialah jika perbuatan kehendak diikat oleh gagasan yang tidak jelas.
Menurut filsuf Herbert Spencer, pengertian kesusilaan dapat berubah, di antara bangsa berbagai pengertian kesusilaan sama sekali berbeda-beda. Pada zaman Negara militer, kebajikan keprajuritanlah yang dihormati, sedang pada zaman Negara  industri hal itu dianggap hina. Hal ini disebabkan oleh kemakmuran yang dialami pada zaman industri bukan didasarkan atas perampasan dan penaklukan, melainkan atas kekuatan berproduksi.

B.   Ilmu pengetahuan
Di kalangan ilmuwan ada keseragaman pendapat, bahwa ilmu itu selalu tersususun  dari pengetahuan secara teratur, yang diperoleh dengan pangkal tumpuan (objek) tertentu dengan sistematis, metodis, rasional/logis, empiris, umum dan akumulatif. Pengertian pengetahuan sebagai istilah filsafat tidaklah sedehana karena bermacam-macam pandangan dan teori (epistemology), diantaranya pandangan Aristoteles, bahwa pengetahuan merupakan pengetahuan yang dapat diinderai dan dapat merangsang  budi. Menurut Decartes ilmu pengetahuan merupakan serba budi ; oleh Bacon dan David Home diartikan sebagai pengalaman indera dan batin ; menurut Immanuel Kant pengetahuan merupakan persatuan antara budi dan pengalaman ; dan teori Phyrro mengatakan, bahwa tidak ada kepastian dalam pengetahuan. Dari berbagai macam pandangan tentang pengetahuan diperoleh sumber-sumber pengetahuan berupa ide, kenyataan, kegiatan akal-budi, pengalaman, sintesis budi, atau meragukan karena tak adanya sarana untuk mencapai pengetahuan yang pasti.     

C.   Problema etika ilmu pengetahuan
Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggunng jawab etis, merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menhancurkan eksistensi manusia.
Tanggung jawab  ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut juga tanggung jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa-masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut tanggung jawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkannya dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang terbaik bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh.
Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, harus menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia yang seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dalam hubungan dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap khaliknya.
Jadi sesuai dengan pendapat Van Melsen (1985) bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan manusia tergantung pada manusianya itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang teknologi memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, yakni kedewasan untuk mengerti mana yang layak dan yang tidak layak, yang buruk dan  yang baik. Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat bersungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk mengembangkan diri manusia saja, tetapi juga merupakan hasil perkembangan dan kreativitas manusia itu sendiri.  

D.  Ilmu: bebas nilai atau tidak bebas nilai
Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana Josep Situmorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai, artinya  tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut.
1.      Ilmu harus bebas dari berbagai pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya dan unsur kemasyarakatan lainnya.
2.      Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
3.      Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai, tetapi ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan oleh bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan segelintir orang, budaya, maka ilmuwan sosial tidak beralasan mengajarkan atau menuliskan itu semua. Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah.
Tokoh lain Habermas sebagaimana yang ditulis oleh Rizal Mustansyir dan Misnal Munir (2001) berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian ini diwarisi Hebermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau objek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Setiap kegiatan teoretis yang melibatkan pola subjek-subjek selalu mengandung kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu pekerjaan, bahasa, dan otoritas. Pekerjaan merupakan kepentingan ilmu pengetahuan alam, bahasa merupakan kepentingan ilmu sejarah dan hermeneutika, sedang otoritas merupakan kepentingan ilmu sosial.

E.   Pendekatan ontologis   
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek apa yang ditelaah ilmu ? bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan ?.
Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuwannya hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan  pengalaman manusia. Objek penelaahan yang berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuwan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.
Secara ontologis ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam sebagaimana adanya.

F.    Pendekatan epistemologi 
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur, dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ? bagaimana prosedurnya ? hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ? apa yang disebut kebenaran itu sendiri ? apakah kriterianya ? cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu ?  
Landasan epistemologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuanya berdasarkan :
a.       Kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun.
b.      Menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut.
c.       Melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataanya secara faktual.
Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara empiris berarti evaluasi secara objektif dari suatu pernyataan hipotesis terhadap kenyataan faktual. Verifikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung dalam hipotesis. Demikian juga verifikasi faktual membuka diri terhadap kritik terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus) berdasarkan cara berpikir kritis.

G.  Pendekatan aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral ? bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? bagaimana kaitan antara teknik, prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau professional ?
Pada dasarnya ilmu harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam.
Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.

H.  Sikap ilmiah yang harus dimiliki ilmuwan
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik kritis, rasional, logis, objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Namun selain itu masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu bangunan yang kuat adalah masalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. Memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia ke arah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi, dapatkah ilmu yang kokoh, kuat, dan mendasar itu menjadi penyelamat manusia bukan sebaliknya. Di sinilah letak tanggung jawab seorang ilmuwan, moral dan akhlak amat diperlukan. Oleh karena itu, penting bagi para ilmuwan memiliki sikap ilmiah.
Para ilmuwan sebagai orang yang professional dalam bidang keilmuan sudah barang tentu mereka juga perlu memiliki visi moral, yaitu moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap ilmiah.
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Hal ini disebabkan oleh sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengatahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial untuk melestarikan dan keseimbangan alam semesta ini, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya, selaras dengan kehendak manusia dengan kehendak Tuhan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan menurut Abbas Hamami M., (1996) sedikitnya ada enam, yaitu sebagai berikut :
1.      Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness) , artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi.
2.      Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap segala sesuatu yang dihadapi. Misalnya hipotesis yang beragam, metodologi yang masing-masing menunjukkan kekuatannya, atau cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya.
3.      Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indra serta budi (mind).
4.      Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah  mencapai kepastian.
5.      Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
6.      Seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan Negara.
Norma-norma umum bagi etika keilmuwan sebagaimana yang dipaparkan secara normatif berlaku bagi semua ilmuwan. Hal ini karena pada dasarnya seorang ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku secara universal dan komunal.
Di samping sikap ilmiah berlaku secara umum tersebut, pada kenyataannya masih ada etika keilmuwan yang secara spesifik berlaku bagi kelompok ilmuwan tertentu. Misalnya, etika kedokteran, etika bisnis, etika politisi, serta etika profesi lainnya yang secara normatif berlaku dan dipatuhi oleh kelompoknya itu. Taat asas dan kepatuhan terhadap norma etis yang berlaku bagi para ilmuwan diharapkan akan menghilangkan kegelisahan serta ketakutan manusia terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Bahkan diharapkan manusia akan semakin percaya pada ilmu yang membawanya pada suatu keadaan yang membahagiakan dirinya sebagai manusia. Hal ini sudah barang tentu jika pada diri para ilmuwan tidak ada sikap lain kecuali pencapaian objektivitas dan demi kemajuan ilmu untuk kemanusiaan.
Yang perlu diperhatikan bagi para ilmuwan khususnya di Indonesia adalah sebagaimana tertuang dalam ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa, khususnya etika keilmuwan dijelaskan bahwa etika keilmuwan dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Paling sedikit ada enam sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan. Norma-norma umum bagi etika keilmuwan sebagaimana yang dipaparkan secara normatif berlaku bagi semua ilmuwan. Hal ini karena pada dasarnya seorang ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku secara universal dan komunal.
B.   Saran
Sesuai dengan kesimpulan di atas sekiranya pembaca memahami materi ini karena sangat bermanfaat untuk pembaca yang kelak akan menjadi seorang ilmuwan.



Daftar pustaka
Soelaeman, M. Munandar.1992. Ilmu sosial dasar.Bandung: PT ERESCO.
Surajiyo.2007.Filsafat ilmu & perkembangannya di Indonesia.Jakarta:Bumi aksara.







   

  







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Administrasi Neo-Klasik

TEORI ADMINISTRASI KLASIK