ETIKA KEILMUWAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya,
sedangkan moral pada dasarnya adalah
petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia. Hasil-hasil kegiatan
keilmuan memberikan alternatif untuk membuat keputusan politik dengan berkiblat kepada pertimbangan moral.
Ilmuwan mempunyai tanggung jawab professional, khususnya di dunia ilmu dan
dalam masyarakat ilmuwan itu sendiri dan
mengenai metodologi yang dipakainya. Ilmuwan juga memikul tanggung jawab
sosial, yang bisa dibedakan atas tanggung jawab legal yang formal sifatnya, dan
tanggung jawab moral yang lebih luas cakupannya.
Ilmu dan moral termasuk ke dalam genus pengetahuan yang mempunyai
karakteristik masing-masing. Tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang
merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya. Komponen tersebut
adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas atau
ruang lingkup yang menjadi objek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat
realitas dari objek penelaah tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai
cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh
pengetahuan. Aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah
diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.
Agar mendapat pengertian yang jelas mengenai kaitan
antara ilmu dan moral maka kajiannya harus didekati dari ketiga komponen tiang
penyangga tubuh pengetahuan yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Namun
sebelum sampai pendekatan dari ketiga hal tersebut dibahas dulu tentang
pengertian etika, moral, norma dan kesusilaan. Bahasan ditutup dengan bagaimana
sikap ilmiah yang harus dimiliki seorang ilmuwan.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa pengertian
etika, moral, norma dan arti kesusilaan ?
2.
Bagaimana
problema etika ilmu pengetahuan ?
3.
Bagaimana ilmu
dalam pendekatan ontologis, epistemologi, dan aksiologi?
4.
Bagaimana sikap
ilmiah yang harus dimiliki ilmuwan ?
C.
Tujuan penulisan
Membantu pembaca mengetahui dan memahami :
Ø Pengertian etika, moral, norma dan arti kesusilaan
Ø Problema etika ilmu pengetahuan
Ø Ilmu dalam pendekatan ontologis, epistemologi, dan
aksiologi
Ø Sikap ilmiah yang harus dimiliki ilmuwan.
D. Manfaat penulisan
Dengan membaca makalah ini pembaca dapat mengetahui
:
Ø Pengertian etika , moral, norma dan arti kesusilaan
Ø Problema
etika ilmu pengetahuan
Ø Ilmu dalam pendekatan ontologis, epistemologi, dan
aksiologi
Ø Sikap ilmiah yang harus dimiliki ilmuwan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Etika,
moral, norma dan kesusilaan
Etika
secara etimologi berasal dari kata Yunani ethos
yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang
membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik
buruk. Yang dapat dinilai baik buruk adalah sikap manusia yaitu yang menyangkut
perbuatan, tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata dan sebagainya. Adapun
motif, watak, suara hati sulit untuk dinilai. Perbuatan atau tingkah laku yang
dikerjakan dengan kesadaran sajalah yang dapat dinila, sedangkan yang
dikerjakan dengan tidak sadar tidak dapat dinilai baik buruk.
Menurut
sunoto (1982) etika dapat dibagi menjadi :
a.
Etika deskriptif
Hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa
adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya
berbuat. Contohnya sejarah etika
b.
Etika normatif
Sudah memberikan
penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak. Etika
normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus.
Moral
berasal
dari kata latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup.
Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit
perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
Frans Magnis Suseno (1987) membedakan
ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wewenang, khotbah,
peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan
bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral
adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan
guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para bijak. Etika bukan
sumber tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan
sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama.
Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral.
Etika mau mengerti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil
sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.
Norma
adalah alat tukang kayu atau tukang batu yang berupa segitiga. Kemudian norma
berarti sebuah ukuran. Pada perkembangannya norma diartikan garis pengarah atau
suatu peraturan. Misalnya dalam suatu masyarakat pasti berlaku norma umum,
yaitu norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral.
Arti kesusilaan
Leibniz seorang filsuf pada zaman modern
berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu “menjadi” yang terjadi di dalam
jiwa. Perkembangan dari nafsu alamiah yang gelap sampai kepada kehendak yang
sadar, yang berarti sampai kepada kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh
lengkap, disebabkan oleh aktivitas jiwa sendiri. Segala perbuatan kehendak kita
sejak semula telah ada. Apa yang benar-benar kita kehendaki telah terkandung
sebagai benih di dalam nafsu alamiah yang gelap.
Oleh karena itu, tugas kesusilaan
pertama ialah meningkatkan perkembangan itu dalam diri manusia sendiri.
Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin kita.
Akibat pandangan itu orang hanya dapat
berbicara tentang kehendak yang baik dan yang jahat. Kehendak baik ialah jika
perbuatan kehendak mewujudkan suatu bagian dari perkembangan yang sesuai dengan
gagasan yang jelas dan actual. Kehendak jahat ialah jika perbuatan kehendak
diikat oleh gagasan yang tidak jelas.
Menurut filsuf Herbert Spencer, pengertian
kesusilaan dapat berubah, di antara bangsa berbagai pengertian kesusilaan sama
sekali berbeda-beda. Pada zaman Negara militer, kebajikan keprajuritanlah yang
dihormati, sedang pada zaman Negara
industri hal itu dianggap hina. Hal ini disebabkan oleh kemakmuran yang
dialami pada zaman industri bukan didasarkan atas perampasan dan penaklukan,
melainkan atas kekuatan berproduksi.
B.
Ilmu pengetahuan
Di kalangan
ilmuwan ada keseragaman pendapat, bahwa ilmu itu selalu tersususun dari pengetahuan secara teratur, yang
diperoleh dengan pangkal tumpuan (objek) tertentu dengan sistematis, metodis,
rasional/logis, empiris, umum dan akumulatif. Pengertian pengetahuan sebagai
istilah filsafat tidaklah sedehana karena bermacam-macam pandangan dan teori
(epistemology), diantaranya pandangan Aristoteles, bahwa pengetahuan merupakan
pengetahuan yang dapat diinderai dan dapat merangsang budi. Menurut Decartes ilmu pengetahuan merupakan
serba budi ; oleh Bacon dan David Home diartikan sebagai pengalaman indera dan
batin ; menurut Immanuel Kant pengetahuan merupakan persatuan antara budi dan
pengalaman ; dan teori Phyrro mengatakan, bahwa tidak ada kepastian dalam
pengetahuan. Dari berbagai macam pandangan tentang pengetahuan diperoleh
sumber-sumber pengetahuan berupa ide, kenyataan, kegiatan akal-budi,
pengalaman, sintesis budi, atau meragukan karena tak adanya sarana untuk
mencapai pengetahuan yang pasti.
C. Problema
etika ilmu pengetahuan
Penerapan
dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai
pertimbangan dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada proses perkembangan
lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggunng jawab etis, merupakan
sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga
keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan
generasi mendatang, dan bersifat universal, karena pada dasarnya ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi
manusia bukan untuk menhancurkan eksistensi manusia.
Tanggung
jawab ilmu pengetahuan dan teknologi
menyangkut juga tanggung jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan
ilmu pengetahuan dan teknologi di masa-masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya
bagi masa depan berdasar keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan-penemuan
baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi terbukti ada yang dapat mengubah
sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut tanggung
jawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkannya dalam perubahan tersebut
akan merupakan perubahan yang terbaik bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi manusia secara utuh.
Tanggung
jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara tepat dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, harus menyadari
juga apa yang seharusnya dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperkokoh
kedudukan serta martabat manusia yang seharusnya, baik dalam hubungannya
sebagai pribadi, dalam hubungan dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk
yang bertanggung jawab terhadap khaliknya.
Jadi
sesuai dengan pendapat Van Melsen (1985) bahwa perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan manusia
tergantung pada manusianya itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi
dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya.
Kemajuan di bidang teknologi memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang
sesungguhnya, yakni kedewasan untuk mengerti mana yang layak dan yang tidak
layak, yang buruk dan yang baik. Tugas
terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan bantuan agar
manusia dapat bersungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk mengembangkan diri
manusia saja, tetapi juga merupakan hasil perkembangan dan kreativitas manusia
itu sendiri.
D. Ilmu:
bebas nilai atau tidak bebas nilai
Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana Josep
Situmorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai, artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar
didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak
campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa
ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu sebagai berikut.
1.
Ilmu harus bebas
dari berbagai pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor
politis, ideologi, agama, budaya dan unsur kemasyarakatan lainnya.
2.
Perlunya
kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu
menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.
3.
Penelitian
ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat
kemajuan ilmu, karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber,
menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai, tetapi ilmu-ilmu sosial harus
menjadi nilai yang relevan. Nilai-nilai itu harus diimplikasikan oleh
bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau
rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan segelintir orang, budaya, maka
ilmuwan sosial tidak beralasan mengajarkan atau menuliskan itu semua. Suatu
sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas ilmiah.
Tokoh lain Habermas
sebagaimana yang ditulis oleh Rizal Mustansyir dan Misnal Munir (2001)
berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendirian
ini diwarisi Hebermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau objek alam
diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Setiap
kegiatan teoretis yang melibatkan pola subjek-subjek selalu mengandung
kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu
pekerjaan, bahasa, dan otoritas. Pekerjaan merupakan kepentingan ilmu
pengetahuan alam, bahasa merupakan kepentingan ilmu sejarah dan hermeneutika,
sedang otoritas merupakan kepentingan ilmu sosial.
E. Pendekatan
ontologis
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan
tentang objek apa yang ditelaah ilmu ? bagaimana wujud yang hakiki dari objek
tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan ?.
Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan
keilmuwannya hanya pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek penelaahan yang
berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman diserahkan ilmu kepada
pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian
banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologis
tertentu. Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuwan yang bersifat empiris
ini adalah konsisten dengan asas epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya
verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang
bersifat benar secara ilmiah.
Secara ontologis ilmu bersifat netral terhadap
nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas sebab
ilmu merupakan upaya manusia untuk mempelajari alam sebagaimana adanya.
F. Pendekatan
epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
tentang asal muasal, sumber, metode, struktur, dan validitas atau kebenaran
pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan epistemologi mempertanyakan
bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ?
bagaimana prosedurnya ? hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar ? apa yang disebut kebenaran itu sendiri ?
apakah kriterianya ? cara atau teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu ?
Landasan epistemologi ilmu tercermin secara
operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara
ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuanya berdasarkan :
a.
Kerangka
pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan
pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun.
b.
Menjabarkan
hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut.
c.
Melakukan
verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataanya
secara faktual.
Kerangka pemikiran yang
logis adalah argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan
terhadap fenomena alam. Verifikasi secara empiris berarti evaluasi secara
objektif dari suatu pernyataan hipotesis terhadap kenyataan faktual. Verifikasi
ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung
dalam hipotesis. Demikian juga verifikasi faktual membuka diri terhadap kritik
terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran
ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru mempunyai sifat pragmatis
yang prosesnya secara berulang (siklus) berdasarkan cara berpikir kritis.
G. Pendekatan
aksiologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari
tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan
untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? bagaimana kaitan
antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral ? bagaimana
penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? bagaimana
kaitan antara teknik, prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral atau professional ?
Pada dasarnya ilmu harus dipergunakan dan
dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan
sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau
keseimbangan alam.
Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan
ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal
berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang
berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti bahwa ilmu
tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.
H. Sikap
ilmiah yang harus dimiliki ilmuwan
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam
dirinya memiliki karakteristik kritis, rasional, logis, objektif, dan terbuka.
Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya.
Namun selain itu masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun
suatu bangunan yang kuat adalah masalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia.
Memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia ke arah perubahan
yang cukup besar. Akan tetapi, dapatkah ilmu yang kokoh, kuat, dan mendasar itu
menjadi penyelamat manusia bukan sebaliknya. Di sinilah letak tanggung jawab
seorang ilmuwan, moral dan akhlak amat diperlukan. Oleh karena itu, penting
bagi para ilmuwan memiliki sikap ilmiah.
Para ilmuwan sebagai orang yang professional dalam
bidang keilmuan sudah barang tentu mereka juga perlu memiliki visi moral, yaitu
moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam filsafat ilmu disebut juga
sebagai sikap ilmiah.
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Hal
ini disebabkan oleh sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk
mencapai pengatahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang
ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara
untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat
dipertanggungjawabkan secara sosial untuk melestarikan dan keseimbangan alam
semesta ini, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya, selaras
dengan kehendak manusia dengan kehendak Tuhan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan
menurut Abbas Hamami M., (1996) sedikitnya ada enam, yaitu sebagai berikut :
1.
Tidak ada rasa
pamrih (disinterstedness) , artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai
pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi.
2.
Bersikap
selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu mengadakan
pemilihan terhadap segala sesuatu yang dihadapi. Misalnya hipotesis yang
beragam, metodologi yang masing-masing menunjukkan kekuatannya, atau cara
penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan
akurasinya.
3.
Adanya rasa
percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indra
serta budi (mind).
4.
Adanya sikap
yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti
(conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
5.
Adanya suatu
kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian
yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan riset
sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
6.
Seorang ilmuwan
harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan
ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk
pembangunan bangsa dan Negara.
Norma-norma umum bagi
etika keilmuwan sebagaimana yang dipaparkan secara normatif berlaku bagi semua
ilmuwan. Hal ini karena pada dasarnya seorang ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh
sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau apa saja yang hendak
menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang
berlaku secara universal dan komunal.
Di samping sikap ilmiah
berlaku secara umum tersebut, pada kenyataannya masih ada etika keilmuwan yang
secara spesifik berlaku bagi kelompok ilmuwan tertentu. Misalnya, etika
kedokteran, etika bisnis, etika politisi, serta etika profesi lainnya yang
secara normatif berlaku dan dipatuhi oleh kelompoknya itu. Taat asas dan
kepatuhan terhadap norma etis yang berlaku bagi para ilmuwan diharapkan akan
menghilangkan kegelisahan serta ketakutan manusia terhadap perkembangan ilmu
dan teknologi. Bahkan diharapkan manusia akan semakin percaya pada ilmu yang
membawanya pada suatu keadaan yang membahagiakan dirinya sebagai manusia. Hal
ini sudah barang tentu jika pada diri para ilmuwan tidak ada sikap lain kecuali
pencapaian objektivitas dan demi kemajuan ilmu untuk kemanusiaan.
Yang perlu diperhatikan
bagi para ilmuwan khususnya di Indonesia adalah sebagaimana tertuang dalam
ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa, khususnya
etika keilmuwan dijelaskan bahwa etika keilmuwan dimaksudkan untuk menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga
bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk
mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Paling sedikit ada enam
sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan. Norma-norma umum bagi etika keilmuwan sebagaimana
yang dipaparkan secara normatif berlaku bagi semua ilmuwan. Hal ini karena pada
dasarnya seorang ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem
politik, sistem tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu.
Tujuan ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku secara universal dan
komunal.
B.
Saran
Sesuai dengan kesimpulan di atas sekiranya pembaca
memahami materi ini karena sangat bermanfaat untuk pembaca yang kelak akan
menjadi seorang ilmuwan.
Daftar
pustaka
Soelaeman, M.
Munandar.1992. Ilmu sosial dasar.Bandung:
PT ERESCO.
Surajiyo.2007.Filsafat ilmu & perkembangannya di
Indonesia.Jakarta:Bumi aksara.
Komentar
Posting Komentar